{[['']]}
Peristiwanya adalah sebagai berikut:
Suatu hari Dewi Anjani memergoki ibunya sedang bermain-main dengan Cupumanik Astagina, yakni sebuah alat yang berkhasiat untuk melihat menikmati keindahan alam dunia. Dewi Anjani menyaksikan, betapa ibunya asyik dengan Cupu Manik Astagina, yang dikiranya alat permainan itu. Waktu Anjani meminta mainan itu, ibunya terpaksa memberikannya karena takut putrinya itu akan mengadukan soal adanya Cupumanik Astagina pada Begawan Gotama, suaminya. Dewi Indradi wanti-wanti berpesan agar Dewi Anjani menyembunyikan dan senantiasa merahasiakan alat permainan itu.
"Jangan sampai ada orang yang mengetahui adanya alat permainan itu", kata Dewi Indradi.
Namun Dewi Anjani ternyata tidak mematuhi pesan ibunya. la justru memamerkan Cupumanik Astagina pada kedua adiknya. Segera terjadilah keributan di antara mereka. Ketiga bersaudara itu saling memperebutkan Cupumanik Astagina.
Keributan karena pertengkaran itu akhirnya mengganggu Begawan Gotama yang sedang samadi. Ia mendatangi ketiga anaknya dan melihat apa yang mereka perebutkan. Betapa terkejutnya Begawan Gotama ketika tabu bahwa yang diperebutkan anak-anaknya adalah Cupumanik Astagina, yang diketahuinya sebagai milik Batara Surya. Dewi Indradi pun segera dipanggil dan ditanya mengenai asal usul Cupumanik Astagina. Karena takut, Dewi Indradi bungkam, tak berani menjawab. Begawan Gotama marah dan cupu itu dilemparkannya jauh-jauh. Kepada ketiga anaknya is berkata, siapa yang dapat menemukan cupu itu, maka ia boleh memilikinya.
Kepada Dewi Indradi yang diam saja waktu ditanya, ia pun berkata: "Ditanya kok diam saja, seperti tugu ..." Kesaktian Begawan Gotama menyebabkan kata-katanya bertuah, dan seketika itu juga Dewi Indradi berubah ujud menjadi tugu.
Cupumanik Astagina yang dilemparkan Begawan Gotama jatuh di Telaga Mandirda (di pewayangan disebut Telaga Sumala, "mala" artinya cacat, penyakit, dosa, atau kesalahan; "su" berarti banyak atau sangat, sedangkan Telaga Nirmala artinya bebas dari penyakit, karena "nir" berarti bebas atau tidak terkena). Guwarsa dan Guwarsi yang larinya lebih cepat dibandingkan Dewi Anjani, sampai ke telaga itu lebih dahulu. Kedua kakak beradik itu segera terjun dan menyelam ke dalam air telaga mencari Cupumanik Astagina. Dewi Anjani yang datang lebih lambat, sampai ke telaga itu dalam keadaan lelah. la segera membungkuk dan mencuci muka dengan air telaga itu untuk menghilangkan lelahnya. Sementara itu, dua orang pengasuh Guwarsa dan Guwarsi yaitu Menda dan Jembawan, berlarian pula mengikuti anak asuhannya. Mereka pun ikut terjun ke telaga.
Terjadilah keajaiban.
Begitu muncul kembali ke permukaan telaga, Sugriwa dan Subali (atau Guwarsa dan Guwarsi) telah berubah ujud menjadi kera. Sedangkan Dewi Anjani, hanya wajahnya saja yang berubah ujud menjadi kera, tetapi tubuhnya tetap manusia biasa. Wajah keranya, tidak mengurangi keindahan tubuh Dewi Anjani yang masih remaja itu. Menda dan Jembawan, yang juga berubah ujud menjadi kera, selanjutnya disebut Kapi Menda dan Kapi Jembawan. Kapi berarti kera.
Ketiga anak Begawan Gotama menyesal sekali atas kejadian yang mereka alarm itu. Mereka lalu kembali ke pertapaan. Begawan Gotama menyarankan agar anak-anaknya mau menerima takdir. Selain itu ia juga mengganti nama mereka. Guwarsa diganti namanya menjadi Subali, sedangkan Guwarsi menjadi Sugriwa. Keduanya lalu disuruh pergi ke tengah hutan untuk bertapa. Dewi Anjani pun melakukan hal yang serupa. la bertapa nyantoka, yaitu bertelanjang, membenamkan tubuhnya, hanya kepalanya saja yang menyembul di permukaan air Telaga Nirmala selama berbulan-bulan. Selama bertapa itu Dewi Anjani hanya memakan apa saja yang hanyut di permukaan air telaga itu.
Pada suatu ketika, Batara Guru sedang melayang di angkasa mengendarai Lembu Andini. Saat itulah pemuka dewa itu melihat seorang wanita tanpa busana berendam di Telaga Nirmala. Timbul birahi Batara Guru menyaksikan keindahan tubuh wanita itu sehingga jatuhlah kama benih (mani)nya menimpa setangkai daun asam muda, yang dalam bahasa Jawa disebut sinom. Daun yang telah ternoda kama benih itu hanyut ke arah Dewi Anjani, yang segera meraih dan memakannya. Betapa sedihnya Anjani ketika ia menyadari tiba-tiba dirinya hamil, padahal merasa belum pernah tersentuh pria. Maka ia pun protes kepada para dewa. Batara Guru dan Batara Narada kemudian datang nenemuinya, memberi penjelasan mengenai apa yang telah terjadi. Batara Guru juga menyatakan bersedia mengaku, bahwa janin yang dikandung Dewi Anjani adalah anaknya.
Ketika datang waktunya bersalin, timbul huru hara dunia. Gunung meletus, banjir mengganas dan badai terjadi di mana-mana. Setelah mengetahui penyebab bencana itu, Batara Guru mengutus beberapa orang bidadari menolong Dewi Anjani. Setelah lahir, anak Dewi Anjani itu diberi nama Anoman, berupa seekor kera berbulu putih mulus. Selanjutnya Dewi Anjani diperkenankan masuk ke kahyangan dan kembali pada ujudnya semula, seorang wanita cantik. Anaknya pun dibesarkan dan dididik di kahyangan. Kelak, anak yang dilahirkan Anjani itu akan menjadi ksatria perkasa yang berumur panjang, walaupun ia berujud kera.
DEWI ANJANI, Wayang Kulit Purwa gagrak Yogyakarta.
Selain wajahnya, kedua telapak tangan Dewi Anjani serupa dengan telapak tangan kera,
karena terkena air Telaga Sumala sewaktu mencuci muka.
DEWI ANJANI, dalam ujud sebagai putri cantik (kiri) dan sebagai raseksi (kanan).
Gambar grafis Wayang Kulit Purwa gagrak Yogyakarta.
DEWI ANJANI, dalam bentuk wanita berwajah wanara atau kera.
Gambar grafis Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta.
DEWI ANJANI, dalam bentuk wanita cantik,
gambar grafis Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta.
DEWI ANJANI, Wayang Kulit Purwa gagrak Jawatimuran.
DEWI ANJANI dalam Wayang Golek Purwa Sunda.
DEWI ANJANI, dalam bentuk wanita berwajah kera,
gambar grafis bergaya komik wayang sesuai penampilan di panggung Wayang Orang
gaya Surakarta.