Latest update :
Home » , » Aswatama, Bambang.

Aswatama, Bambang.

{[['']]}
ASWATAMA, BAMBANG, sering disebut tanpa nama awal Bambang, adalah anak Begawan Drona. Kadang kala ia juga disebut Haswasutautama. Dalam pewayangan ada dua versi mengenai siapa ibunya. Versi pertama menyebutkan ibu Aswatama adalah Dewi Wilutama, sedangkan versi kedua adalah Dewi Krepi — adik Resi Krepa. Dalang yang menganggap Aswatama anak Dewi Wilutama menyebut anak Drona itu berkaki kuda, sedang suara tawanya menyerupai ringkikan kuda. Walaupun ayahnya adalah seorang guru besar dalam ilmu ketrampilan keprajuritan dan siasat perang, Aswatama bukan seorang yang terlalu menonjol kesaktiannya dalam pewayangan. Ia bahkan cenderung dilukiskan sebagai tokoh yang banyak akal, tetapi kurang berjiwa ksatria, dan lebih suka memukul dari belakang. Ia pun digambarkan sebagai tokoh yang karena dendam, bersedia menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya.

Aswatama termasuk tokoh Kurawa yang lolos dari kematian pada perang besar antara keluarga Pandawa dan Kurawa yang disebut Baratayuda. Tiga hari menjelang usainya Baratayuda anak Begawan Drona itu terlibat pertengkaran dengan Prabu Salya di hadapan Prabu Anom Duryudana. Karena merasa sungkan pada mertuanya, Duryudana memihak Prabu Salya sehingga Aswatama sakit hari dan pergi meninggalkan medan perang. Pangkal perselisihan Aswatama dengan Prabu Salya adalah karena menurut pendapat Aswatama kekalahan Kurawa disebabkan karena kelicikan Prabu Kresna sebagai ahli siasat di pihak Pandawa. Lagi pula, Aswatama berterus terang menilai beberapa senapati Kurawa, misalnya Prabu Salya, Resi Bisma, dan Adipati Karna tidak berperang secara sungguh-sungguh. Penilaian Aswatama itu membuat Prabu Salya berang. Raja Mandaraka itu mendamprat Aswatama di dalam persidangan.

Terbunuhnya Begawan Drona, ayahnya, juga membuat Aswatama dendam. Karena itu, begitu perang usai, ia mengajak Kartamarma dan Resi Krepa untuk menyelundup masuk ke perkemahan para Pandawa di tepi Padang Kurusetra. Tujuannya jelas, membalas dendam dengan cara licik, karena merasa tidak mampu bilamana terang-terangan. Waktu itu para Pandawa belum masuk ke Istana Astina, masih berada di perkemahan. Aswatama berniat hendak membunuh para Pandawa yang ketika itu, menurut perhitungannya sedang lengah. Resi Krepa menolak ajakan ini. Sesuai dengan rencana, suatu malam Aswatama berhasil menyusup ke perkemahan para Pandawa. Mula-mula ia masuk ke kemah keputren, yakni ruangan untuk para istri Pandawa. Di tempat ini Aswatama berhasil membunuh Dewi Srikandi dan Banowati. Kemudian ia pindah ke kemah lain dan melampiaskan dendamnya dengan membunuh Drestajumena, dan Pancawala (putra Dewi Drupadi dan Puntadewa). Waktu Aswatama akan membunuh Parikesit yang waktu itu masih bayi, anak Abimanyu itu tiba-tiba terbangun, menangis dan kakinya menendang-nendang. Pasopati, anak panah pusaka Arjuna yang ditaruh di ranjang bayi, tertendang dan mental, kebetulan mengenai leher Aswatama. Anak Drona itu pun tewas seketika.

Kisah kematian Aswatama di atas adalah versi pedalangan di Indonesia.
Sementara versi lainnya. yaitu yang bersumber Kitab Mahabarata, menyebutkan, setelah berhasil membunuh Dewi Subadra. dan Dewi Srikandi, Aswatama dan Kartamarma lalu melarikan diri ke hutan. Beberapa waktu kemudian, ketika mendengar berita bahwa Dewi Banowati kawin dengan Arjuna, Aswatama menyusup ke Keraton Astina. la membunuh Banowati yang dianggapnya berkhianat. la juga mencoba membakar Keraton Astina, baru setelah itu melarikan diri ke hutan. Dengan penuh kemarahan Bima dan Arjuna segera mengejar Aswatama. Bima memporakporandakan hutan itu, sehingga Aswatama terpaksa keluar dari persembunyiannya. Sementara itu, Arjuna yang sejak dulu membenci anak Drona itu telah menghadangnya. Aswatama akhimya mati oleh panah Arjuna.

Menurut Sauptika Parwa, kematian Aswatama lain lagi. Dikatakan bahwa sehari sesudah Baratayuda selesai, Aswatama memasuki kemah (pasanggrahan) Pancala (dalam pewayangan disebut Cempalaradya). Drestajumena yang sedang tidur dibunuhnya sebagai pelampiasan dendamnya. Setelah itu Aswatama melarikan diri ke hutan clan bersembunyi selama beberapa waktu. Sesudah keadaan dianggapnya aman, ia pergi ke Pertapaan Sata Arga untuk minta perlindungan pada Maharesi Wyasa (Begawan Abiyasa). Arjuna berhasil menemukan persembunyian Aswatama di tempat kakeknya itu. Namun sewaktu Arjuna hendak membunuhnya, Resi Wyasa dan Prabu Kresna menghalang-halanginya. Atas saran Resi Wyasa, Aswatama menyerahkan semua senjata pusaka yang dimilikinya, dan kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai untuk hidup sebagai pertapa.

Versi yang lain lagi menyebutkan, waktu Arjuna berhadapan dengan Aswatama, anak Resi Drona itu mencoba melawan dengan menggunakan panah pusaka Cundamanik yang diwarisinya dari Begawan Drona. Tetapi Arjuna segera pula melepaskan anak panah pusaka miliknya: Pasopati. Kedua pusaka yang berasal dari kahyangan itu beradu dan menimbulkan goncangan alam, serta membuat para dewa di kahyangan geger. Batara Guru segera mengutus Batara Narada untuk mengatasi pertempuran kedua panah sakti itu. Batara Narada yang melerai pertempuran itu kemudian memutuskan, panah Cundamanik harus disita dan diberikan kepada Arjuna. Sedangkan Arjuna harus membiarkan Astawatama pergi, karena menurut suratan para dewa, anak Drona itu belum waktunya mati. Kesempatan itu digunakan Aswatama lalu pergi ke hutan dan hidup sebagai pertapa.

Di antara sifat-sifat buruk yang dimiliki Aswatama, terselip juga sifat baiknya.
Dalam lakon Palguna-Palgunadi Aswatama berhasil menyelamatkan Dewi Anggraini dengan mencegah Arjuna yang hendak berbuat nista terhadap istri Prabu Palgunadi itu. Sejak saat itulah penilaian baik Aswatama terhadap Arjuna hilang. Dan, sejak saat itu pula Arjuna membenci Aswatama. Bagi Aswatama, kebenciannya terhadap Arjuna sudah dimulai sejak remaja. Waktu Begawan Drona menjadi mahaguru di Astina, Aswatama juga ikut serta diajar berbagai macam kemahiran. Mula-mula Drona memberikan perhatian besar pada anaknya ini. Namun kemudian, Arjuna ternyata lebih mahir dan cepat menerima ilmu yang diajarkan, sehingga kasih sayang Drona beralih ke ksatria ini. Hal itu menyebabkan Aswatama cemburu dan mulai membenci Arjuna.

Mengenai penyusupan Aswatama ke perkemahan Pandawa dan membunuh beberapa orang yang sedang tidur, penggemar wayang mempunyai dua penilaian yang berbeda. Ada yang menganggap perbuatan Aswatama itu licik, tidak ksatria, dan pantas dikutuk. Sebagian yang lain berpendapat bawa perbuatan Aswatama itu, walaupun keji dan meninggalkan sifat ksatria, tetapi sah dalam peperangan. Perbuatan itu mirip dengan perang gerilya.

Dalam pewayangan Aswatama tinggal di Kasatrian Tirtatinalang. Ia memiliki beberapa nama alias, di antaranya, Dronaputra, Dronasuta, karena ia anak Drona. Ia juga disebut Dwijasuta, Dwijatanaya, Wipratanaya, atau Guruputra, karena ia anak seorang mahaguru. Dalam Kitab Mahabarata, nama Aswatama dituliskan Acwakktaman. Nama itu artinya adalah 'kuda dengan banyak kepandaian'. Dalam kitab itu, Aswatama juga dilukiskan sebagai tokoh ahli weda, yaitu aturan pergaulan dan etika agama.
Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa, selain digambarkan sebagai manusia biasa, ada seniman wayang yang menggambarkan Aswatama dengan kaki kuda. Hal ini diilhami riwayat kelahiran Aswatama dari ibu seekor kuda betina penjelmaan Dewi Wilutama.

Lakon-lakon yang melibatkan Aswatama:

  • Aswatama Lahir
  • Palguna-Palgunadi
  • Salya Gugur
  • Aswatama Nglandak
 
 
 BAMBANG ASWATAMA, gambar grafis Wayang Kulit Purwa 
gagrak Surakarta.
  ASWATAMA, gambar grafis Wayang Kulit Purwa 
gagrak Yogyakarta.
 
 
 ASWATAMA, gambar grafis Wayang Kulit Purwa Bali. 
 

 ASWATAMA, Wayang Kulit Purwa Sunda.
 
Share this article :

About

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blvckshadow - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger